Hadirnya Orang Ketiga

cerita-sex-hadirnya-orang-ketiga

Sejak kepindahan kantorku ke ruko ini, aku memang tidak bisa lagi bermesraan dengan Eksanti terlalu sering seperti dulu, karena situasinya yang tidak memungkinkan. Aku bahkan mendengar dari teman-teman sekantor bahwa Eksanti kini tengah menjalin hubungan serius dengan seorang lelaki. Seperti prinsipku semula, aku tidak begitu peduli dengan kehidupan pribadinya, hingga pada suatu hari saat di ruangan kantor itu sedang sepi ia duduk mendekati mejaku. Ia tampak ragu-ragu, namun aku mengerti, pasti ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan kepadaku.

“Ada apa San?”, ujarku ringan bertanya kepadanya.
“Mas, Santi mau mengaku”, ia menjawab lirih sambil menundukkan pandangan matanya ke bawah.
“Mengaku apa san?”, aku bertanya kembali, kali ini dengan sedikit curiga.
“Santi akan menikah dan mau mengundurkan diri dari perusahaan ini”, ia berkata semakin lirih, namun pernyataannya itu cukup jelas terdengar di telingaku.
Pyaarrrrarr.. dadaku tersentak, tetapi aku sungguh menghargai kejujurannya.
“Lho.. emang terus kenapa?”, jawabku sambil pura-pura menenangkan hati.
“Jadi, kita nggak mungkin bisa terus begini”.
Katanya lagi
“Santi ingin berusaha setia dengan yang Santi cintai, Santi tidak ingin melukainya”.
Ia berkata-kata sambil mengelap air mata bening yang ada di sudut matanya.
“Iya.. Mas juga ngerti, nggak apa-apa”, aku berkata sambil menahan perasaanku.
“Kapan rencana menikahnya, lalu kapan juga Santi mau mengajukan surat pengunduran diri?”
“Menikahnya belum tahu pasti, tapi kalau pengunduran diri Santi mungkin bulan depan sudah Santi proses di personalia, dan tiga bulan kemudian Santi baru akan benar-benar off dari perusahaan ini”, jawabnya singkat tapi pasti.
“Oke, terus kalau Mas boleh tahu, Santi mau berhenti kerja atau pindah ke perusahaan lain sih?”, aku bertanya dengan sedikit penasaran.
“Pindah kerja Mas, soalnya terus terang pacar Santi yang minta untuk pindah dan Santi tidak ingin mengecewakannya.
Di perusahaan itu karir Santi akan lebih bagus dan dan tugas-tugasnya juga sangat menantang”
“Oke, asal Santi sudah pikir masak-masak, Mas sih nggak akan keberatan. Cuma tolong beri Mas waktu untuk mencari asisten baru, dan sekalian nanti beritahu dia tentang tugas-tugasnya yaa..”
“Pasti Santi bantu, Mas.. Tapi Mas, nggak marah sama Santi ‘kan..?”, ia berucap memelas.
“Kenapa harus marah, sepanjang Santi sudah yakin dan itu demi kebaikan masa depanmu, Mas akan mendukung setiap keputusanmu”, aku berusaha bersikap sebijaksana mungkin untuk menyembunyikan perasaanku yang sedikit kecewa.
“Terima kasih, Mas. tapi sebelum itu, Santi mau ngasih Mas hadiah”, kali ini Eksanti berkata sambil tersenyum.
Mungkin ia merasa sangat lega bisa berkata sedemikan jujurnya kepadaku.
“Hadiah apa..?”, aku sedikit penasaran.
“Ini, tapi janji.. mbukanya ntar saja yaa..”. Ia berkata sambil mengeluarkan bungkusan kecil.
“Terima kasih”, kataku sambil menyimpan hadiahnya yang terbungkus kertas putih bergambar hati dengan pita merah di laci mejaku.
Lalu Eksanti beranjak dari sebelahku dan berjalan ke tangga menuju lantai bawah. Aku sangat penasaran dengan isi bungkusan itu. Sambil sedikit bergegas, aku ambil dari laciku dan aku bawa bungkusan itu ke dalam toilet di lantai itu. Ketika aku buka ternyata isinya adalah celana dalam dan bra yang telah disemprot dengan bau parfum kesukaanku. Aku meremasi dan mencium harumnya di hidungku
Hampir 3 bulan lebih, mendekati saat-saat keluarnya Eksanti dari perusahaanku ini, aku tidak lagi pernah mengganggunya lagi karena aku menghargai sikap kesetiaannya. Aku tahu diri sehingga akupun mulai menjauh, dan ia juga tidak pernah bertanya kenapa hal ini terjadi. Yang aku tahu ? Yoga ? kekasih Eksanti itu bertugas di Malang, sehingga mereka juga jarang bertemu. Hingga suatu ketika..
Hari itu Eksanti mengenakan blazer warna merah menyala, dipadukan dengan blouse warna hitam yang mengatung dibagian perutnya. Di bagian bawah ia mengenakan rok pendek warna merah senada dengan warna blazernya. Pakaiannya itu membalut tubuhnya yang sexy, sehingga entah mengapa seperti magnet, membuat arah pandanganku selalu ingin tertuju kepadanya. Aku melirik ke arahnya, saat itu Eksanti berdiri membungkukkan badan untuk mengirimkan fax yang aku tugaskan. Aku memperhatikan roknya terangkat, sehingga bagian belakang pahanya yang putih bersih itu tersingkap.
Darahku berdesir keras, terlebih-lebih ketika aku memperhatikan dirinya sedang berusaha menjangkau dokumen di sebelah atas rak bukunya.. occhh.. aku sungguh-sungguh menikmati pemandangan indah itu. Blouse-nya yang mengatung itu tersingkap, menampakkan kulit putih bersih perutnya yang langsing, dan blousenya itu juga semakin erat membalut dua buah tonjolan sintal di dadanya.
Sesekali Eksanti menundukkan punggungnya pada saat ia sedang mengetik di depan komputer, sehingga makin menampakkan dengan jelas garis tali bra di sisi atas punggungnya. Ketika Eksanti semakin merunduk, dua buah dadanya yang ranum itu menempel erat di sisi meja tulisnya. Sungguh aku semakin tidak kuasa menahan nafsu birahiku ketika menikmati pemandangan yang sangat indah itu..
“Ohh.. sexynya Eksanti saat itu”, aku menelan ludahku membayangkan saat-saat indah yang pernah kami alami berdua..
Ketika aku semakin tidak bisa menahan perasanku, lalu seketika aku berusaha mendial komputernya dan menuliskan apa yang aku lihat dan aku rasakan.
“San, kamu sexy sekali hari ini”
“Thanks, Mas, tapi Santi lagi sebel nih..”
“Kenapa sebel..?”
“Abis.. ahh nggak deh..!”
“Abis kenapa..?”
“Mas masih inget kan cerita Santi 3 bulan yang lalu”
“Tentang pacarmu itu”
“Iya..”
“Emang ada apa”
“Santi sebel sama dia”
“Iya.. tadi kamu sudah cerita.. sebel. Tapi kenapa?”
“Kemarin ia datang ke Jakarta dan janji mau nemenin Santi jalan-jalan sore ini”
“Terus..?”
“Tiba-tiba tadi ia telepon, bilang kalau nggak bisa. Yang bikin Santi Sebel, alesannya itu lho”
“Lho emang dia ada acara apa?”
“Dia bilang nggak bisa, karena sebelumnya sudah terlanjur membuat janji dengan teman-temannya. ‘Kan jadinya Santi di nomer duakan dibandingkan teman-temannya.”
“Lho, yaa.. belum tentu begitu. Itu kan artinya dia committed”
“Ahh.. Mas malah mbelain dia. Tahu nggak salah satu temennya yang dianterin itu siapa”
“Yaa.. mana Mas tahu”
“Yang minta dianterin itu salah satu general manager di kantor Jakarta, jadi dia beralasan takut nolak. Lagian bosnya itu cewek, belum punya punya suami, terus genitnya minta ampun”
“Ahh.. kamu jangan suka mengada-ada gitu”
“benar Mas.., Santi jadi sebel deh.., pasti dia..”
“Pasti dia apa..?”
“Pasti dia.. kayak kita dulu”
“Ahh.. kamu kok ngawur gitu sih..?”
“Ahh udah ahh.. Santi pusing”
“Pusing kenapa sih..?”
“Santi pusing mikirin ini, sama pusing kalau inget kita dulu.. hee.. hee..”
“Kamu jangan gitu ahh.., nanti Mas kalau inget jadi ikut pusing lho”
“Abis Mas juga sih yang mulai nanya-nanya”
“Lho.. emang Mas salah?”
“Nggak sih, tapi kan Santi tiba-tiba jadi keinget”
“Keinget sama apa”
“Samaa.. pisang”
“Pisang apa..?”
“Pisangnya Mas..”
“Ahh.. Mas nggak punya pisang lagi, sudah jadi mentimun”
“Maksudnya..?”
“Yaa.. karena pisangnya nggak pernah dimaem lagi, jadi tambah gede.. Tambah gede.., sampai akhirnya berubah menjadi mentimun”
“Duh.. gemesnya Santi, segede apa pisang mentimun itu sekarang?”
“Nggak boleh nanya-nanya lagi, kecuali Santi mau ..”
“Mau apa..?”
“Mau maem pisang timunnya”
“Ihh.. Mas genit aahh..”
Eksanti menanggapi perasaanku dan obrolan kami semakin panjang, dengan diiringi khayalan-kayalanku yang membuat batang pisangku (begitu Eksanti memberikan istilah pada hari itu) semakin mengeras membayangkan apa yang saling kami ceritakan. Tak terasa waktu berlalu dan sore hari itu jarum pendek jam sudah menunjukkan angka 5.
Sebelum mengakhiri obrolan-obrolan kami, melalui chating terakhir, aku bertanya, “So, Santi mau ngapain sore ini?”
“Mau langsung pulang aja ahh.., pusing inget obrolan Mas ini, pusing jalanan nanti macet.”
“Mau nggak biar nggak pusing, tapi ada syaratnya”
“Mau.. mau..”
“Tapi syaratnya berat, Mas yakin kamu nggak bisa memenuhinya”
“Ahh.. coba aja”
“Mas mau nganterin kamu pulang, tapi syaratnya di mobil nanti kamu nggak boleh pakai celana dalam. Berani nggak?”
“Santi mau dianterin sama Mas, biar cepet sampai ke rumah, terus mandi, terus bobo.., Santi benar-benar pusing”,
Eksanti menyetujui usulanku untuk pulang bersama dan hanya tersenyum kecil ketika Eksanti membaca tantangan dalam pesanku yang terakhir itu.
“Tapi benar lho yaa.., harus dipenuhin syaratnya”
“Lihat ntar aja deh. Tapi Mas benar ‘kan mau nganterin Santi pulang”
“Iyaa.. deh!”
“Jangan pakai ‘deh’ dong!, mau apa nggak?”
“Mauu..!”, aku menyerah setuju.
Ketika kami selesai mematikan connection komputer kami, Eksanti bergegas masuk ke kamar mandi untuk merapikan dirinya. Tidak lupa, seperti biasa ia menggenggam handuk kecil berwarna hijau bergambar mickey mouse, tokoh favoritnya. Lima menit berselang, Eksanti keluar dari kamar mandi dengan wajah yang segar dan bau harum parfum yang semakin menggugah rasa birahiku.
Eksanti duduk di atas kursi di depan kaca jendela untuk merapikan wajahnya, sambil menyilangkan kaki indahnya itu. Eksanti mengoleskan cream pelembab di kedua lengan, tangannya lalu dikedua kaki jenjangnya. Aku melirik, dan aku kembali menyaksikan pemandangan indah itu. Kejantananku kembali menegang keras membayangkan seandainya saat itu aku bisa mencium lembut kaki indahnya.
Tatkala Eksanti mengoleskan cream pelembab itu di jemarinya, aku menarik nafas panjang membayangkan nikmatnya seandainya jemari lentiknya itu meremasi kejantananku dengan lembut. Lalu Eksanti menyapukan bedak baby dipipinya dan mengoleskan dengan tipis lipstik di bibirnya, “Ooohh.. seandainya aku diijinkan mengecupi bibir indah itu..”, pikiranku semakin mengawang-awang dipenuhi bayangan-bayangan nikmat yang telah lama kuimpikan selama ini..
Setelah selesai berkemas-kemas kami lalu bergegas untuk pulang. Eksanti turun dari lantai atas terlebih dahulu dan berjalan kaki ke arah sudut ruko kantor kami, dimana kami telah sepakat untuk bertemu. Akupun menyusulnya dan segera aku jalankan mobil ke tempat janji kami bertemu. Pintu mobil aku buka dan Eksanti pun masuk ke dalam mobil untuk ikut pulang bersamaku. Sesaat aku tertegun ketika Eksanti melangkahkan kakinya masuk ke dalam mobilku. Untuk yang kesekian kalinya aku sempat menyaksikan pahanya yang putih bersih itu tersingkap.
Mata kami saling beradu dan kami saling berpandangan penuh arti. Ketika Eksanti menutup pintu, segera aku menjalankan mobil ke arah jalan raya dan berputar menuju ke arah pintu tol. Hujan gerimis menyapu jalanan, dan cuaca itu semakin membuat ruangan mobil bertambah dingin, seolah berusaha untuk memadamkan bara api birahi yang ada diantara kami berdua.
“Kita jalan-jalan dulu aja yaa.. sebelum pulang “, aku mengajukan usul.
“Sebenarnya Santi capai, tapi terserah Mas aja deh..”, Eksanti menjawabnya sambil mengangguk tanda setuju.
Kembali kami mengobrol ringan, sembari sesekali kami bercerita tentang apa yang pernah kami lakukan dahulu. Eksanti menunduk malu ketika aku berusaha mengingatkan pengalaman kami yang dulu, sembari bergumam ,
“Rasanya aku sudah lamaa.. yaa.. tidak pernah lagi merasakan hal itu”.
“Iya, Mas juga sudah kangenn.. berat sama kamu”, aku menjawab pernyataannya.
Tak terasa obrolan-obrolan kami semakin mengingatkan pada kemesaraan yang pernah kami alami berdua, dan aku melirik ke arahnya membayangkan apa yang pernah kami lakukan dahulu pada suasana yang sama seperti saat itu. Kini mobilku telah berada di mulut pintu tol dan dengan segera aku menurunkan kaca jendela untuk membayar karcis tol.
Begitu kami memasuki jalan tol, tangan kiriku langsung berusaha untuk menggapai tangannya. Aku mengangkat jemari lentik tangan kirinya ke arah bibirku dan mencium serta menghirup bau harumnya seraya berkata,
” Sayang.., Mas pengin sekali mengulangi saat yang dulu”.
Eksanti menoleh pelan kearahku dan tersenyum sambil memejamkan matanya, seolah membayangkan apa yang aku maksudkan. Aku memasukkan ujung jemari tangannya ke dalam mulutku, sedikit saja.. dan gerakan itu sudah cukup untuk membuat Eksanti merintih pelan. Aku melumati jemarinya yang harum oleh cream pelembabnya, sehingga membuat Eksanti menggigit bibir kecilnya menahan birahinya yang mulai memercik.
Perlahan-lahan aku melepaskan tangannya dan menuntunnya ke arah batang kejantananku yang telah mengeras sedari tadi. Eksanti menoleh ke arahku dan tampak sinar mata gemasnya itu memancar, ketika jemarinya lembut menyentuh gundukan celana di atas pangkal pahaku. Genggaman tangan kiriku pada jemarinya aku lepaskan dan segera tangan itu aku arahkan pada pangkal pahanya.
Eksanti merintih pelan,
“Acchh..”, ketika jemariku yang dingin itu mengusap lembut kulit putih mulusnya.
Aku semakin berani dan segera menyusupkan jemariku lebih dalam lagi. Eksanti berusaha memperlebar kakinya seolah memberikan keleluasaan pada tanganku untuk mencumbuinya. Jemariku merayap semakin dalam, dan sesaat Eksanti menggelinjang ketika aku menyetuh bulu-bulu halus di atas kewanitaannya. Aku baru menyadari bahwa sedari tadi Eksanti telah melepaskan celana dalamnya.
Birahinyapun semakin meningkat ketika aku mengusap-usap lembut bibir kewanitaannya yang mulai membasah. Kedua tangannya kini berusaha melepaskan reslueting celanaku. Kejantananku yang sedari tadi telah mengeras segera diraup dan dipilin-pilin dengan gemas menggunakan kedua tangannya.
“Achh.. Santi, Mas enak sekali”, aku menggumam perlahan.
Sesaat kemudian Eksanti segera merundukkan kepalanya ke atas pangkuanku. Bibirnya yang kecil itu berusaha mengecupi kepala kejantananku dengan gemas, sembari lidahnya menjilati ujung lubangnya dengan nikmat.
“Occhh.. Santii..”, aku menjerit lirih sambil tetap berusaha untuk berkonsentrasi memegang kendali mobil.
Tangan kiriku tetap berada di dalam dekapan kedua pahanya yang hangat, dan jemariku mencubit-cubit lembut bibir luar kewanitaannya yang semakin membasah. Kini jemari tengahku aku tusukkan perlahan ke dalam lubang kenikmatannya.
“Aucchh Mass..”, Eksanti menggelinjang sambil tetap melumati batang kejantananku dengan gemas. Kejantananku itu kini telah terbenam hampir separuhnya di dalam mulutnya, dan lidahnya tetap melumat-lumat dengan lembut.
Ujung jemari tengahku kini tengah menyentuh ujung klitorisnya yang telah menegang, dan aku berusaha mengusapinya dengan lembut.
“Auchh.. auchh..”, Eksanti menjerit-jerit kenikmatan dan akupun semakin berani menusuk-nusukan jemariku.
“Please Mas.. lebih dalam lagi.. lebih dalam lagi..”, Eksanti mememohon-mohon sambil menggigit dengan lembut kepala kejantananku.
Rintik hujan yang terus turun, dinginnya hawa AC di dalam mobil dan dengusan nafas kami berdua semakin menambah romantis suasana saat itu. Ujung jemariku semakin dalam menembus lubang nikmatnya, dan gesekan jemariku dengan bibir kewanitaannya menimbulkan suara-suara nikmat yang semakin membimbing dirinya menuju puncak nikmatnya. Sleb.. slebb.. slebb.. bunyi itu semakin cepat dan semakin cepat mengiringi dengusan nafas kami berdua. Lima menit berlalu dan Eksantipun meregangkan tubuhnya, tanda bahwa dirinya telah mencapai puncak orgasme yang pertama sambil melenguh panjang,
“Ooohh.. Mass.. Santi enakk.. teruskan Mass.. please lebih dalamm..”.
Kedua tangannya meremasi dengan kasar batang kejantananku dan mengocok-ngocoknya dengan kuat.
“Please Mass.., Santi kepengin Mas juga merasa enakk.., please”, Eksanti bergumam sambil dengan semakin cepat melumati dan mengocok-ngocok batang kejantananku.
“Ooohh.. enak.. Santii.. please.. sekarang lebih cepat lagi.. lebih cepat lagii..”, aku merintih-memohon kepadanya untuk meningkatkan irama kocokannya.
Aku merasakan cairanku hampir tumpah dari dalam testisku. Eksanti menurutiku dan meningkatkan irama kocokannya, sambil tetap menjilati ujung kejantanannya.
“Ochh.. Santii.., please sekarang.. Mas mau keluarr..”, aku menjerit ketika cairan nikmatnya itu muntah dari ujung lubang kejantananku.
Aku meregang penuh nikmat sambil berusaha tetap berkonsentrasi pada kendali mobilku. Cairan itu basah di atas celanaku dan dengan sigap Eksanti segera meraih tissue untuk membersihkannya. Dengan gemas Eksanti memandangi ujung kepala kejantananku yang mengembang kemerahan setelah mengeluarkan cairan nikmatku. Segera setelah kejantananku kembali bersih, Eksanti mengecupnya dengan penuh rasa gemas dan sayang.
Waktu berlalu sangat cepat ketika kami selesai melakukan kemesraan yang pertama. Tak terasa kami sudah hampir mengitari kota Jakarta dari atas jalan tol, dan saat itu mobil kami telah berada lagi di mulut pintu keluar Ancol Timur. Stir mobil segera aku arahkan ke luar pintu tol untuk menuju ke sebuah motel di dekat area pintu tol itu.
Mobil segera masuk ke kompleks motel tersebut dan aku segera memarkir mobil di sebelah kamar yang terlihat kosong dan telah disiapkan. Sambil berpelukan kami keluar dari dalam mobil dan masuk ke dalam kamar motel melalui pintu garase yang terhubung langsung ke dalam kamar. Eksanti bergelayut di pundakku, dan aku menggamit mesra pinggangnya dengan erat.
Ketika kami telah berada di dalam kamar, aku segera menyalakan lampu redupnya dan menyalakan AC. Dengan tidak sabar Eksanti langsung menciumi leherku. Aku menggelinjang-gelinjang kegelian, lalu Eksanti dengan kasar langsung merenggut dan melepas dasiku serta membuka kancing kemejaku. Eksanti menciumi leher dan menggigiti dadaku dengan kasar, sambil tangannya mencakari kulit punggungku. Akupun meremas-remas lembut rambut kepalanya. Eksanti semakin turun dan semakin turun menciumi perutku, tangannya berusaha melepaskan ikat pinggang dan celanaku. Sekali lagi kejantananku yang kembali telah mengeras diraup dan diciumnya dengan ganas.
“Occhh.. Santii.. enakk.. Santii..”, aku mendengus-dengus penuh nikmat, ketika hampir seluruh kejantananku kini telah berada di dalam mulut kecilnya lagi.
Srupp.. srupp.. srupp.. suara lidahnya yang basah dengan air liur menjilati dengan nikmat kejantananku. Sesekali Eksanti mengusap-ngusap bulu-bulu di bawah dua bolaku dan mengigiti bolaku itu dengan lembut yang kiri dan kanan.
Eksanti menghisap-hisapnya dengan penuh nafsu dan rambutnyapun semakin aku remas-remas, manakala aku menahan rasa geli dan nikmat yang semakin luar bisa. Posisiku yang sedari tadi masih berdiri di samping tempat tidur segera Eksanti dorong, dan ketika aku telah merebah diatas kasur air itu Eksanti segera berjongkok untuk kembali melumati batang nikmatku.
“Occhh Santii.., please aku mau memasukkan sekarang..”, aku memohon-mohon kepadanya.
Eksanti segera melepaskan kecupannya dari kejantananku dan membuka rok dan blazer merahnya. Sambil masih mengenakan kaus hitam yang mengatung memperlihatkan pusarnya itu, Eksanti segera duduk di atas perutku dan menggesek-gesekan dengan lembut bulu-bulu halus kewanitaannya di atas perutku. Tangankupun kini meremasi kedua buah dadanya yang sintal itu. Dan perlahan-lahan aku mengangkat kausnya. Eksantipun mengangkat kedua belah tangannya untuk mempermudahku melepaskannya.
Kini aku menyaksikan kulit tubuhnya yang putih bersih itu, sembari aku saksikan branya yang terbuat dari bahan menerawang membungkus erat buah dadanya yang sangat indah. Putingnya yang merah kecoklatan itu nampak jelas menarawang dari balik BHnya, dan pemandangan itu semakin menambah birahiku. Aku mengecupi branya dengan mulutku tanpa berusaha untuk membukanya, dan Eksantipun mengelinjang-gelinjang geli bercampur nikmat. Tanganku berusaha meraih kepalanya dan mendekatkan bibirnya yang lembut itu kearah bibirku. Bibir kami kemudian menyatu, saling cium dan saling melumati, sembari sesekali kami saling menghisap-hisap bibir dan lidah kami.
Aku merasakan desiran-desiran darahku mengalir semakin cepat manakala aku melihat ekspresi pasrahnya dan mendengar rintihan nikmatnya. Ciumanku turun dari bibirnya dan aku menggigit lembut dagu kecilnya, dan semakin turun kearah leher jenjangnya. Lidahku menjilat-jilat peluh harum yang mengalir deras di lehernya. Tubuhnya masih meliuk-liuk di atas tubuhku, dan terasa adanya cairan nikmat yang tiba-tiba meleleh lembut di atas perutku, ketika aku berusaha melumati putingnya yang merah mengeras itu. Kini tanganku berusaha merenggut tali branya menyamping ke lengannya sehingga aku semakin leluasa mengecup dan menggigigt lembut kedua putingnya bergantian yang kiri dan kanan.
Lalu sesaat kemudian aku merasakan tangannya membimbing kejantananku untuk masuk ke dalam lubang nikmat kewanitaannya.
“Occhh Mass..”, Eksanti merintih pelan ketika ujung kejantananku telah menembus lubang itu.
Kedua tangannya kini bertumpu di atas dadaku, dan Eksantipun menaik turunkan tubuhnya sehingga aku merasakan gesekan-gesekan lembut bibir kewanitaannya pada batang nikmatku. Sedari sore tadi aku telah membayangkan bahwa bibir kewanitaannya yang menggelambir lembut itu memang luar biasa sekali. Eksanti mula-mula menggesek-gesek pelan dan makin lama semakin cepat.. semakin cepat.
“Occhh.. Santii.. sayang..”, aku mendengus-dengus pelan sembari tetap meremasi kedua buah dadanya yang indah itu dengan lembut.
Cairan nikmatnya semakin deras mengalir dari dalam kewanitaannya, sehingga melumasi gesekan bibir kewanitaannya dengan batang kejantananku. Hal itu menimbulkan suara-suara nikmat yang menemani erangan dan dengusan nafas kami.
“Ayo Mass.. Santi ingin Mass.. enakk..”, Eksanti berbisik-bisik pelan sambil menggigiti telingaku.
Aku merasa geli bercampur nikmat ketika dinding kewanitaannya kurasakan meremasi kejantananku. Peluh kami kembali mulai bercucuran dan bibirkupun berusaha menahan rasa nikmat yang akan menuju puncak. Aku mencoba bertahan untuk memperlama permainan cinta kami, dan akupun memohon kepadanya.
“Please, sayang.. Mas pengin sekali bercinta dari belakang”, aku berbisik pelan kepadanya dan Eksantipun segera mengangkat tubuhnya sembari merubah posisi sesuai permintaanku.
Kini tangan dan lututnya bertumpu di atas kasur air, dan dengan segera aku menusukkan batang nikmatku ke lubang kewanitaannya dari arah belakang diantara sela-sela buah pantatnya.
“Ochh.. Mas.. Santi enakk..”, Eksanti melenguh panjang dan akupun semakin menjadi-jadi menusukkan kejantananku itu dari arah belakang.
Kedua tanganku memeluk tubuhnya dari belakang sembari jemariku memilin-milin ujung putingnya. Aku mendorong-dorongkan badanku ke arah depan dan Eksantipun berusaha untuk memutar-mutarkan buah pantatnya.
Peluh di atas punggungnya aku jilat-jilat dengan nikmat saat Eksanti merebahkan kepalanya di atas kasur air sehingga buah pantatnya semakin menungging ke atas. Tanganku kini meremasi buah pantatnya itu sambil tetap mendorong-dorongkan badanku. Bless.. bless.. bless.. bunyi gesekan itu semakin menjadi-jadi, dan akupun semakin merasakan bahwa puncak kenikmatanku segera akan datang.
“Please.. Santi, Mas mau keluarr..”, aku berteriak kecil memperingatkannya.
Dan Eksantipun semakin menjadi-jadi memutar-mutarkan buah pantatnya. Bless.. bless.. bless.. aku semakin dalam menusuk-nusukan batang kejantananku. Semenit berselang aku berteriak sambil memeluk erat tubuhnya
“Santii.., Mas mau keluarr..”.
Dan Eksantipun menjerit pelan pula,
“Ochh.. Mas.., Santi enakk..”.
Lalu plas.. plas.. plas.. (8x) cairan nikmatku muntah di dalam lubang surgawinya. Akupun tetap bertahan untuk tetap menusuk-nusukan batang nikmatku dan sesaat kemudian aku rasakan tubuhnya kembali meregang sembari bibir kewanitaannya erat meremasi kejantananku.
“Occhh Mass.. Santi enak sekalii..”, Eksanti berteriak kecil sambil menggigit bibir bawahnya.
Cairan nikmatnya mengalir deras dari dalam kewanitaannya bercampur dengan cairan nikmatku menimbulkan aroma birahi yang sangat sensual. Aku menghentikan tusukanku sambil berusaha menikmati saat-saat yang telah aku impikan selama ini.
Tubuh kami terkulai lemas, lalu aku memeluknya dari belakang. Kejantananku tetap menancap di dalam lubang kewanitaannya. Sesaat aku masih menikmati remasan-remasan lembut bibir kewanitaannya, dan akupun menciumi peluh di sekujur lehernya yang harum itu.
Rambutnya aku sibakkan sambil membisikan kata-kata lembut, “Terima kasih Santi, kamu benar-benar luar biasa..”
Eksanti tersenyum bahagia sekali karena telah berhasil memuaskan diriku seraya menjawab “Santi seneng, kalau Mas merasa enakk.. Sekarang Mas udah lega ‘kan?”.
Kami benar-benar terkulai kelelahan sampai tak terasa kami tertidur lelap di dalam motel itu.
Ketika aku merasakan geliatan tubuhnya dan mencium bau harum keringatnya, aku terbangun dan melihat ke arah jam tanganku. Astaga sudah pukul 8.00 pagi. Kamipun segera bergegas untuk berkemas-kemas langsung pergi ke kantor yang hanya berjarak 300 meter dari motel itu.
(Santi.., Aku ingin sekali mengimpikanmu malam ini..)