Jalanan sudah sangat sepi, mungkin beberapa jam lagi akan tiba waktu subuh. Untungnya masih bisa kutemukan apotek 24 jam yang letaknya sekitar 6 kilometer dari tempat kost ku.
Ku parkirkan motorku dan bergegas memasuki apotek. Hanya ada 1 orang yang berjaga, wanita dengan wajah yang cukup manis.
“Malam, Mas. Ada yang bisa dibantu?” Tanya mbak penjaga apotek tersebut.
“Ini Mbak, saya cari obat ini…” Jawabku sambil memberikan kertas kecil yang berisikan nama obat yang minta dicarikan Andri.
“Sebentar mas saya lihat dulu ya.” Balas mbak penjaga sambil berlalu masuk membawa potongan kertas yang aku berikan.
Aku yang masih terpacu adrenalin berusaha mengumpulkan nafas sambil melihat-lihat obat yang ada di etalase apotek. Karena haus, aku lantas mengambil air mineral yang ada di dalam kulkas disamping etalase obat tersebut.
Mbak penjaga apotek pun kembali dari ruangan belakang.
“Yah, Mas. Maaf untuk obat ini stok kami disini sedang habis. Stok masih ada di apotek cabang kami yang ada di sebelah selatan sana mas.” Jelas Mbak tersebut.
“Beneran, Mbak? Duh, itu apoteknya ada dimana mbak? Gak bisa diambilin atau dianterin aja gitu, Mbak? Saya capek nih…” Pintaku.
Memang aku mengendarai motor, namun adrenalin yang membuatku terburu-buru terbukti membuatku capek dan sedikit berkeringat.
“Hmm, sebentar saya tanya apa ada penjaga di apotek sana yang sedang berjaga dan bisa mengantarkan ya mas…” Balasnya sambil kembali berlalu masuk.
Aku pun kembali menghabiskan minumku dan duduk di bangku tunggu yang tersedia.
Mbak apoteker keluar kembali tidak lama kemudian.
“Mas, alhamdulilah ada penjaganya, tapi ia sedang mengantarkan obat terlebih dahulu.
Paling sekitar 20 menit lagi sampai ke sini. Bagaimana?”
“Iya gapapa deh mbak, saya tunggu aja…”
Mbak tersebut pun mengangguk sambil melemparkan senyum manisnya. Aku lantas menelpon di luar apotek untuk mengabarkan Andri perihal obat yang masih harus menunggu tersebut. Sepertinya keadaan Andri sudah membaik dari sebelumnya, jadi ia tidak masalah bila harus menunggu sedikit lebih lama.
Selesai menelepon pun aku kembali masuk. Mbak apoteker duduk ditempatnya semula sambil memerhatikanku yang terlihat bosan, melihat-lihat jejeran obat di etalase di depannya.
“Oya, mbak namanya siapa?” Tanyaku sok berani.
“Lidya, Mas. Kalau mas?”
“Aku Arif. Jangan panggil mas ah, panggil Arif aja hehehe.”
Lidya pun tertawa kecil sambil memalingkan mukanya melihat keluar jendela.
“Cari obat alergi untuk siapa memangnya, Rif?” Tanya Lidya.
“Teman kosan, tadi sore makan kepiting. Sekarang badannya bentol segede tangan kamu…” Jawabku setengah bercanda, Lidya cekikan mendengar jawabanku.
Aku yang tidak bisa diam, mondar mandir sambil memerhatikan obat, menghentikan langkahku di depan tumpukan kondom yang dijual di apotek tersebut.
Ku perhatikan seksama berbagai macam kondom yang ada, dari yang berwarna merah, hitam, sampai kuning keemasan.
“Lihat-lihat, emang mau beli ya?” Tanya Lidya menggoda ku.
Aku pun sedikit kaget, karena tidak sadar aku bengong memerhatikan kondom yang ada.
“Hahah, enggak sih. Masa main sama tangan pake kondom…” Jawabku nakal.
Jawabanku ternyata membuat Lidya tertawa.
“Ya cari dong, Rif…” Balas Lidya.
“Iya sih, sama kamu aja gimana?”
“Ih, kurang ajar banget sih..” Kata Lidya, intonasi nadanya tidak terdegar perlawanan, hanya seperti bercanda.
“Hahaha, ya maaf deh. Tapi emang gak bocor pake kondom ya?” Aku pura-pura bertanya untuk memancing Lidya.
“Ya enggak dong, biar tipis juga kuat. Asal buka bungkusnya jangan pake gunting. Kalo itu sih ya pasti bocor. Hahaha.”
“Hahaha ya iya itu sih. Terus, bagusan yang mana?” lagi lagi pertanyaanku berusaha untuk memancing Lidya.
“Nih yang item aja, ada obat kuatnya, biar gak gampang loyo…” Jawab Lidya sambil mengeluarkan kondom dengan kotak berwarna hitam.
“Ah aku sih gak pake obat kuat juga udah kuat…” Bela ku.
“Hahaha ya terserah, atau yang merah nih, tipis, lebih nikmat katanya.”
“Katanya? Kenapa gak kamu buktiin sendiri?” Pertanyaanku semakin spesifik untuk mengajak Lidya tidur bersama ku. Lidya hanya tersenyum.
“Hihih, aku selesai shift jam 5, Rif. Satu jam lagi…” Jawab Lidya penuh makna sambil mengedipkan matanya.
Aku tersenyum mendengar jawabannya.
Terdengar suara motor di depan apotek, ternyata obatnya sudah sampai. Langsung Lidya mengambilkan obat untukku dan membungkusnya ke dalam plastik.
“Itu yang merah jangan lupa…” Ujar ku pada Lidya, ia lalu memandangku penuh arti dengan senyumnya yang cukup nakal.
Setelah selesai membayar, aku pun bergegas kembali ke kosanku. Ku berikan obat kepada Andri dan langsung masuk ke kamarku sendiri.
Ku keluarkan kondom yang ada didalam plastik, ku lihat bon pembelianku. Saat ku perhatikan, ternyata Lidya menuliskan nomer teleponnya dibalik kertas. Segera saja ku catat, dan ku sms Lidya.
“Kalau sudah mau pulang, kabari ya. Aku rapihin kasur dulu, hehehe.” Tulisku singkat sambil merapihkan kamar. Entahlah, padahal belum tentu juga Lidya serius menanggapiku.
Tidak lama, ponselku bergetar dan ku lihat ada satu pesan masuk.
“Oke sayang. :*” begitu balas Lidya. Dengan emoticon cium membuatku semakin bersemangat.
Tidak sampai 10 menit, kamarku selesai ku rapihkan.
Ku lihat jam, dari apa yang Lidya katakan sewaktu di apotek, masih ada 30 menit lagi sampai jadwal shiftnya selesai. Aku hanya menunggu sambil duduk di pinggir kasur. Ku perhatikan kondom yang ku beli di apotek barusan.
“Tipis, plis, lo harus masuk ke meki Lidya pagi ini plis…” Batinku dalam hati sambil memegangi kondom tersebut.
Sepuluh menit kemudian Lidya kembali mengirimkan pesan kepadaku.
“Kamu berangkat sekarang aja, aku lagi siap siap mau pulang nih…” Isi pesan tersebut.
Aku pun bersemangat dengan nafsu menggelora. Segera ku kenakan jaket tebalku, dan ku pacu lagi sepeda motorku. Kali ini dengan adrenalin yang lebih tinggi, perasaan tak karuan karena akan mendapat kesempatan meniduri gadis cantik yang ku temui di apotek tadi.
Tidak sampai 10 menit, aku sudah kembali ke tempat apotek Lidya. Ku lihat ia sudah berdiri menunggu di samping apotek, rapih dengan seragam putihnya, namun kali ini ditambah atasan kardigan tipis berwarna krem.
“Lama ya nunggunya?” Tanyaku pada Lidya. Ia hanya menggelengkan kepala.
“Mau kemana kita?” Tanya Lidya padaku kali ini.
“Kamu mau kemana? Mau makan dulu?”
“Enggak, udah makan tadi di apotek. Aku capek deh, Rif. Langsung pulang aja yuk…”
“Pulang? Ke rumah kamu, apa ke kosan aku?” Tanyaku menyelidik.
“ke kosan kamu juga gak apa apa…” Jawab Lidya sambil mencubit kecil pinggangku.
Aku hanya meringis sedikit namun tidak protes apa-apa. Aku senang, senang sekali karena Lidya benar-benar mau ikut ke kosanku.
Ku pacu kendaraanku pelan agar dingin tidak terlalu menusuk tulang. Lidya sendiri sudah memelukku dari belakang sejak awal ia naik ke atas motor. Terasa betul kedua belah dadanya yang montok menempel dipunggungku.
Sampailah kami berdua di kosanku. Ku parkirkan motor, dan menuntun Lidya menuju kamarku. Ku lihat kamar Andri pun sudah tidak menyala lampunya, berganti dengan langit yang sudah memerah dikejauhan tanda sebentar lagi matahari akan terbit.
Ku persilahkan Lidya masuk ke kamar ku. Begitu pintu ku tutup, Lidya yang sedang berjalan ke arah kasur segera ku peluk dari belakang dengan tanganku yang langsung meraba payudaranya.
“Hmm, aku udah gak tahan banget dari tadi tau…” Bisikku pelan.
Lidya langsung melemas dan meletakan tangannya diatas tanganku yang sibuk dengan payudaranya yang lumayan besar tersebut. Desisan pelan terdengar dari mulut Lidya yang mungil karena geli di lehernya dari sapuan lidah basahku.
“Uhhm, nakal ya kamu hmmm…” Rintih Lidya pelan.
Aku segera membuka dan menurunkan kardigannya. Satu persatu ku buka kancing seragam Lidya dan ku tanggalkan pakaiannya. Kini ia hanya mengenakan celana panjang putihnya dan bra hitam dengan renda yang memperlihatkan sedikit putingnya.
Kupingku yang berada tepat disamping bibir Lidya bisa dengan jelas mendengar berat nafas dan rintihan kecil kala aku memasukan kedua tanganku menyusupi celana Lidya. Terasa sedikit bulu halus dipangkal pahanya.
“Buka aja uhhh Rifff. Biar gampangggg…” Desis Lidya.
Aku menurutinya. Ku buka seluruh celananya, termasuk celana dalamnya. Ku balikan posisi Lidya agar menghadap ke arahku dan ku dorong tubuhnya agar tertidur di ranjangku.
Ku buka kaki Lidya, ku lihat vaginanya yang bersih dengan bulu kemaluan tercukur rapih. Vagina dengan warna kemerahan yang sedikit basah itu segera ku hujam dengan serangan brutal lidah dan bibirku. Ku jilati bibir vaginanya, ku gigit gigit pelan klitorisnya dan ku masukan jariku untuk menambah kenikmatan Lidya.
“Aahhh Rifff ahhhhhh….” Teriak Lidya kecil.
Ku tambah rangsangan untuk Lidya dengan meremas payudaranya dengan satu tanganku saat tanganku yang lain sibuk mengocok lubang kewanitaannya dan lidahku tidak ingin melepaskan klitorisnya yang kini semakin merekah, membesar dan basah.
Beberapa kali Lidya menaikan pinggulnya tanda akan kenikmatan yang akan segera mencapai puncaknya. Dan benar saja, Lidya meremas rambutku dengan kencang.
“Aaaah Rifff keluar Riffff aargghhhhhh….” Ronta Lidya.
Kulihat cairan bening hangat mengalir dari dalam vaginanya. Lidya terengah-engah dengan tubuh yang bercucuran keringat.
Aku pun kembali naik ke atas tubuh Lidya, menciumi perutnya, payudaranya, dan kembali ke lehernya sambil berbisik,
“Enak gak?”
Lidya mengangguk dengan senyum manja. Tangannya segera meraba penisku yang masih terbungkus celana. Meski Lidya sudah telanjang bulat, namun aku masih rapih dengan pakaian yang tidak terlepas satu pun.
Lidya pun mendorong tubuhku. Ia kini berada diatasku. Ditariknya ke atas pakaianku hingga terbuka. Diciuminya dengan liar leher dan sekitar dadaku. Terasa geli, namun nikmat sekali.
Setelah itu, Lidya membuka celanaku perlahan. Dikeluarkan penis ku dari sangkarnya. Ia terlihat sedikit takjub melihat penisku yang keras dan cukup panjang. Ia pun segera mengocoknya perlahan.
“Hmm, pasti udah gak sabar banget ya si dedek ini?” Tanya Lidya meledek penisku.
Aku hanya tertawa kecil sambil mengangguk.
“Gantian ya, dek…” Kata Lidya ke arah penisku sambil mendekatkan mulutnya.
Dijilatnya batang penisku, dari pangkal sampai ke bagian kepalanya. Dimainkan lidahnya di lubang penisku, dan langsung dimasukan seluruhnya ke dalam mulut.
“Ahhhh, isep Lyd, enakk banget….” Desisku pelan sambil meremas rambut Lydia.
Ia tampak begitu sibuk menghisap penis dan menikmati setiap momennya.
“Uhhh, hmmm ahhh enak sayangggg…” Kata ku pelan.
Selesai dengan penisku, Lydia kembali bangun dan menindih badanku.
“Mana yang merah merah tadi?” Tanya Lidya menanyakan kondom yang aku beli tadi ditempatnya.
Aku pun mengambil plastik putih yang terletak diatas meja disamping kasurku dan mengeluarkan kondom tersebut.
“Nih,” Ujarku.
Lydia pun mengambilnya. “Nih cara buka dan makenya, aku ajarin ya…” Kata Lydia sok menggurui, aku hanya tertawa melihat tingkah dan mendengar perkataannya.
Dengan pelan ia membuka bungkus kondom, dan penuh ketelatenan ia memasangkannya ke penisku.
“Tuh, kalau masangnya bener, kondom tipis ini gak akan robek kok…” Jelas Lydia.
“Iya, Ibu Apoteker, terima kasih ya sudah mengajarkan…” Kataku sambil menarik tubuh Lydia dan mengganti posisinya, kali ini aku ada diatasnya.
Kaki Lydia pun sudah bersiap melingkar disekitar pinggangku, ku arahkan penisku ke lubang vagina Lydia. Ku gesekkan pelan, Lydia tampak mendesis dengan mata tertutup dan mulut yang terbuka lebar.
Dengan sekali hentakan, ku masukan penisku seluruhnya ke dalam vagina Lydia. Mata Lydia pun terbelak saat penisku ini mencapai ujung vaginanya.
“AAAAHHHH, RIFFF!” Teriak Lydia.
Aku tidak memedulikannya dan langsung menggenjot vagina Lydia dengan penuh nafsunya.
Tubuh Lydia yang mungil namun cukup sintal yang ada dihadapanku ini tampak bergoyang seluruhnya seiring dengan genjotanku. Payudaranya yang naik turun tampak begitu menggairahkan. Aku pun meremas keduannya saat pinggangku secara otomatis masih memompa penisku di dalam vaginanya.
“Uhhh, riff nikmat banget riffff. Kontollll kamuu aaahhhhh….”
Bosan dengan gaya missionaris seperti itu, Lydia meminta dirinya ada di atas. Aku pun mengiyakan dan menukar posisi tanpa melepaskan penisku dari dalam vaginanya
Begitu Lydia diatasku, ia menggoyangkan pinggulnya ke kanan dan kiri. Membuat penisku terasa dipijat dengan kedutan dari vaginanya yang sangat kuat dan hangat.
“Aaargggghhhhh, enak banget ngentotin kamu Lydddddd….” Teriakku sambil meremas ke dua payudaranya.
Lydia tampaknya tidak peduli dengan apa yang aku katakan dan yang aku lakukan. Kepalanya mengadah menghadap ke langit langit, dengan mata terpejam dan mulut terbuka. Sesekali ia memainkan rambutnya sendiri. Sungguh pemandangan liar yang sangat luar biasa.
Kali ini Lydia menggenjot pinggulnya naik turun, ku melihat dengan jelas bagaimana gagahnya penisku menghujam masuk, menjadi bagian dari tubuh Lydia, juga menjadi bagian dari kenikmatannya pagi ini.
Genjotan Lydia semakin lama semakin cepat dan liar, sepertnya ia akan mencapai puncaknya sekali lagi.
“Ahhhh, arggh aku mau keluar lagi nih Rifff. Arhhhhhhhh….”
Lydia pun orgasme untuk yang kedua kalinya. Tubuhnya langsung terjatuh diatas tubuhku.
Aku yang belum mencapai puncaknya pun langsung bangkit, meminta Lydia untuk menungging karena aku akan menyerangnya dari belakang.
Lydia yang sudah lemas sekali menungging dengan menyandarkan dada dan kepalanya ke bantal. Tidak peduli ia sudah letih, penisku tetap butuh kenikmatan dan harus ku dapatkan dari vagina Lydia yang hebat ini.
Tanpa basa basi, ku hujamkan sekali lagi penisku. Ku remas pantat Lydia, ia masih mengerang sesekali saat penisku mencapai ujung vaginanya.
Semakin cepat aku menggenjotnya, semakin kurasakan juga akan ada tembakan keras dari dalam penisku.
“Uhhh sebentar lagi sayang, aku udah mau keluarrr…” Bisikku pada Lydia.
Ia hanya berdiam, menikmati saat saat terakhir penisku.
Dan crot crot crot! Penisku pun memuntahkan banyak sperma didalam kondom yang bersarang didalam vaginanya.
Kali ini tubuhku yang lemas dan segera membaringkan diri disamping Lydia.
Ku lihat wajah Lydia, ia sangat cantik, sungguh menggugah nafsu birahi bila melihatnya seperti ini, penuh nafsu dan gairah.
Kami pun tertidur pulas. Untungnya aku tidak ada kegiatan di pagi hari karena begitu ku lihat waktu sudah menunjukan hampir pukul enam pagi.